Jumat, 09 September 2011

Menyegarkan Kembali Nilai Ekonomi Islam

Sistem Ekonomi Islam telah diposisikan oleh penggagas dan penggiatnya sebagai solusi (bukan alternatif) atas gurita krisis yang menggerogoti kejayaan rezim ekonomi global yang dianggap lekat dengan nilai kapitalisme, sosialisme, neoliberalisme, dan/atau nilai-nilai lain yang dianggap melenceng dari ajaran agama Islam.
Sebagaimana agama Islam itu sendiri, penerapan/implementasi “nilai dan ajaran” Islam akan terus tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah manusia. Begitu juga dengan tumbuh kembang konsep dan implementasi nilai dan ajaran Islam di bidang Ekonomi. Nah, apakah penerapan nilai Ekonomi Islam telah berhasil menerjemahkan apa yang dicita-citakan oleh penggagasnya tersebut?
Mari kita cermati satu per satu nilai yang mendasari pembentukan teori Ekonomi Islam, prinsip-prinsip sistem ekonomi yang Islami serta perilaku dalam bisnis dan ekonomi Islam.
Sebagaimana terangkum dalam statement Alquran, ada beberapa nilai-nilai yang dijadikan landasan seseorang dalam bermuamalah, berperilaku, dan secara khusus dalam berekonomi, yaitu: Tauhid (Keimanan), ‘Adl (Keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Khilafah (Pemerintahan), dan Ma’ad (Hasil), Multitype Ownership, Freedom to Act, dan Social Justic, serta Akhlak.
Pertama, Tauhid (keimanan) yang dalam hal ini bisa dimaknai sebagai pengesaan terhadap Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya tujuan akhir atas hidup dan mati manusia. Jadi, segala urusan manusia terhadap makhluk lain harus didasarkan dalam kerangka hubungan dengan Tuhan. Apapun yang dilakukan manusia harus bisa dipertanggungjawabkan secara tuntas kepada Tuhan.
Sistem Ekonomi yang dilakukan dengan tujuan menegakkan nilai keagungan Tuhan, apapun itu agamanya, sangat potensial untuk menjadi solusi atas krisis sistem ekonomi di muka bumi ini.
Kedua, ‘Adl (Keadilan). Bila kapitalisme klasik mendefinisikan adil sebagai “anda dapat apa yang anda upayakan” (you get what you deserved), dan sosialisme klasik mendefinisikannya sebagai “sama rata sama rasa” (no one has a privilege to get more than others), maka Islam mendefinisikan adil sebagai “tidak menzalimi tidak pula dizalimi” (laa tazhlimuuna walaa tuzhlamuun).
Implementasi sistem ekonomi dikatakan Islami jika menjunjung tinggi nilai keadilan oleh siapapun pelakunya, dan bahkan apapun agamanya. Berekonomi dengan landasan kapitalisme, neoliberalisme, atau sosialisme pun bisa juga dikatakan Islami jika pada kenyataannya tidak merugikan atau mengambil hak orang lain.
Ketiga, sistem ekonomi Islam memiliki prinsip Nubuwwah (kenabian) yang memiliki sifat berekonomi secara shiddiq (jujur, benar); amanah (bertanggung jawab, bisa dipercaya dan kredibel); fathonah (cerdik, bijaksana dan intelek); dan tabligh (komunikasi, transparansi dan publikasi).
Keempat, Khilafah (pemerintahan) dalam arti ekonomi Islam diterapkan dalam sebuah naungan pemerintahan yang memiliki kewenangan, tanggung jawab dan kredibilitas untuk mengatur, mengelola, dan mendistribusikan seluruh sumber daya yang menjadi hak publik untuk sebesar-besar kemakmuran bersama. Penguasa ini tak harus merupakan pemerintahan berazaskan Islam.
Kelima, ma’ad (hasil). Adalah wajar jika dalam berekonomi, manusia ingin memperoleh hasil/laba/keuntungan. Keuntungan yang tak cukup hanya bersifat materiil, namun juga keuntungan spiritual yang akan selalu menjadi energi positif bagi akal, hati dan moral sehingga manusia bisa menikmati buah dari berekonomi secara komprehensif.
Keenam, Multitype Ownership (kepemilikan multijenis). Nilai Islam mengakui kepemilikan Negara, swasta maupun campuran, termasuk kepemilikan pribadi dan bersama/publik. Untuk memastikan tidak adanya kezaliman, Negara memiliki hak untuk menguasai cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Tentu harus dikelola secara adil.
Ketujuh, Freedom to Act (kebebasan bertindak/berusaha). Setiap diri manusia, baik sebagai individu, kelompok maupun keterkaitannya dengan penguasa dan publik, memiliki kebebasan dalam bertindak/berusaha, termasuk dalam bidang ekonomi.
Setiap manusia boleh melakukan aktivitas muamalah atau ekonomi apapun, kecuali semua tindakan mafsadah (segala yang merusak), riba (tambahan yang didapat secara zalim), gharar (uncertainty, ketidakpastian), tadlis (penipuan), dan maysir (perjudian, zero-sum game: orang mendapat keuntungan dengan merugikan orang lain). Karena hukum asal dari fikih ekonomi dan muamalah adalah “semua boleh dilakukan kecuali yang ada larangannya.”
Kedelapan, Social Justice (keadilan sosial). Dalam islam, keadilan diartikan dengan suka sama suka (an taradhin minkum) dan satu pihak tidak mendzalimi pihak lain (latazlimuna wa la tuzlamun). Keadilan sosial bisa terwujud jika masing-masing pihak berperan secara adil sekaligus proporsional dalam perekonomian.
Kesembilan, Akhlak. Sistem ekonomi islami hanya memastikan agar tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Tetapi kinerja bisnis tergantung pada man behind the gun-nya.  Karena itu pelaku ekonomi (baik sebagai produsen, konsumen, pengusaha, karyawan atau sebagai pejabat pemerintah) harus memiliki moral baik dan benar yang dalam kerangka ini dapat saja dilaksanakan oleh umat non muslim.
Implementasi
Memang tidaklah mudah untuk bisa menerapkan sebuah sistem ekonomi berdasarkan nilai universal ajaran agama dalam naungan rezim sistem ekonomi global berbasis riba (bunga) yang telah menginstall perilaku berekonomi masyarakat selama berabad-abad.
Implementasi sistem ekonomi Islam pun terkena dampaknya. Pada kenyataannya, praktek sistem Ekonomi Islam (khususnya dalam bingkai industri dan keuangan) tetap saja tidak bisa lepas dari pengaruh suku bunga (misalnya).
Fatwa haramnya bunga bank, ditetapkannya UU Perbankan Syariah, insentif pajak atas produk syariah dan berbagai kebijakan lain yang dikeluarkan otoritas penguasa seperti lembaga eksekutif maupun legislatif, Depkeu, BI, Bapepam-LK, dan MUI merupakan support yang signifikan terhadap industri Ekonomi Islam.
Namun ternyata tumbuh kembang industri Ekonomi Islam jauh lebih lambat dibanding industri ekonomi konvensional. Sekedar ilustrasi: Bank Syariah (model lazim dari praktek Ekonomi Syariah) dalam 5 tahun terakhir (Des 2005-2010) hanya menambah aset Rp.76,6 triliun. Bandingkan dengan Bank Konvensional, pada periode yang sama berhasil menambah aset 20 kali lipat dibanding bank syariah, yaitu Rp.1.539 triliun.
Hal ini terjadi selain karena industri konvensional sudah terlanjur lihai dalam berbisnis, industri syariah juga masih belum berhasil menunjukkan perbedaan substansial dan signifikan dibandingkan dengan praktek yang terjadi di konvensional.
Kelengkapan dan kesiapan Industri Ekonomi Islam dari sisi SDM, IT, dan Infrastruktur lainnya pun kalah jauh dibandingkan dengan industri konvensional. Kebijakan-kebijakan  sistem ekonomi yang dikuasai oleh pemerintah juga masih menomorsatukan tumbuh kembang industri berbasis bunga (konvensional).
Terlalu banyak hal yang harus dibenahi terlebih dahulu jika kita ingin agar nilai-nilai universal ajaran Islam itu bisa diterapkan. Tentu sekali lagi tidak harus pemerintahannya berazakan Islam karena nilai Ekonomi Islam itu universal, bisa dan boleh dipraktekkan oleh siapapun.
Bicara sistem Ekonomi Islam memang bukanlah melulu bicara mengenai Lembaga Keuangan Islam dalam bingkai industri. Di luar hingar bingar tumbuh kembang industri ekonomi Islam, publik telah terbiasa melakukan praktek ekonomi Islami seperti jual beli (barang/jasa) yang terjadi antar individu maupun kelompok, transaksi di pasar-pasar tradisional, sewa menyewa, kerja sama bisnis, serta berbagai transaksi lain yang tak berlabel industri.
Nah, hal realistis yang bisa kita lakukan saat ini adalah mari menerapkan nilai-nilai Ekonomi Islam tersebut dari diri pribadi, dalam aktivitas berekonomi keseharian, maupun jika kita sebagai pelaku industri dan keuangan. Jika ada praktek berekonomi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai di atas, kita hindari, atau kalau perlu kita upayakan mengubahnya.
Dan harus diingat, bahwa pada kenyataannya tidak ada jaminan pasti bahwa lembaga keuangan berlabel syariah (Islam) otomatis sudah sepenuhnya menjunjung tinggi nilai-nilai Ekonomi Islam. Belum tentu juga praktek ekonomi kapitalis, sosialis, dan neoliberalis, seluruhnya tidak sesuai dengan nilai Islam. Namun, industri berlabel syariah (Islam) sudah selangkah lebih maju, paling tidak telah mensyariahkan akad/transaksi yang melandasi praktek dan operasionalnya.
Untuk segenap penggiat dan pendukung Ekonomi Islam, janganlah risau jika ada persepsi bahwa syariah dan konvensional itu substansinya sama saja. Kecuali jika industri Ekonomi/Keuangan Islam sudah memberi bukti value added yang substansial (tak hanya dari sisi akad) dibanding konvensional.
Ahmad Ifham Sholihin - Bogor, 11 Maret 2011
http://ahmadifham.wordpress.com/2011/03/17/menyegarkan-kembali-nilai-ekonomi-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar