Menjadi perhatian saya bahwa beberapa ikhwan, murid-murid syari’ah
dan para ulama mengatakan bahwa bekerja secara berkelompok atau
mengikatkan diri dalam jama’ah dakwah tidak diijinkan kecuali di bawah
seorang Imam kaum muslimin dan bahwa kumpulan individu yang menegakkan
dakwah dan jihad tidak sesuai dengan hukum dan oleh karena itu seluruh
kumpulan individu baik di dunia Timur maupun Barat menyeru ke
pintu-pintu neraka karena keberadaan mereka tidak dibolehkan.
Peryataan tersebut berasal dari mereka yang menyebut diri
ulama-ulama yang mengingkari ajaran Rasulullah SAW., dan sunnahnya.
Setelah saya menemukan beberapa kaum muslimin tertipu dengan fatwa
palsu tersebut, yang tidak berdasar pada pengetahuan atau pemahaman
syar’i, saya akan (dengan apa yang Allah SWT., berikan pada saya)
membuat bayan untuk kebenaran (Al-Haq)
dengan menyingkirkan ‘mendung’ yang membingungkan sebagian kaum
muslimin. Semoga Allah SWT., menerimanya.
Kumpulan individu, diketahui sebagai sebuah jama’ah, adalah apa yang
orang bergabung. Pada kenyataannya orang yang bergabung minimal dua
orang atau lebih dan ini diriwayatkan dalam hadits shahih, dikumpulkan
dalam Darimi, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad, dari riwayat Abu Said
Al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW., bersabda :
“Siapa dapat menyumbang pada laki-laki ini dan shalat bersamanya
sebagai kedermawanan, untuk shalat bersamanya dan untuk mendapatkan
pahala shalat berjamaah.”
Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan berdasarkan hadits dari Abdullah Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah bersabda :
“Shalat berjamaah itu lebih baik dibanding shalat sendiri 27 derajat.”
Dua hadits tersebut membuktikan bahwa dua atau lebih (dari dua
orang) adalah sebuah jama’ah dan ada lebih banyak pahala untuk shalat
bersama dalam jama’ah dan sunnah secara eksplisit, baik ucapan maupun
perbuatan, membuktikan bahwa tidak ada batasan untuk jumlah terbanyak.
Sebuah jamaah bisa berjumlah 1.000 orang atau 1.000.000 orang dan akan
dipandang sebagai satu jama’ah di bawah pimpinan seorang imam shalat.
Tirmidzi meriwayatkan berdasar hadits Abdullah Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah SAW., bersabda :
“Tangan Allah SWT., menaungi (melindungi) tangan jama’ah.”
Jama’ah yang dimaksud di sini adalah Jama’atul Muslimin. Bagi mereka
yang menggabungkan diri di bawah seorang imam pada suatu waktu,
sebagaimana Rasulullah SAW., berkata kepada Hudzaifah Al Yaman dalam
hadits “fitan”, yang dikumpulkan oleh Bukhari dan Muslim :
“Berpeganglah (bergabunglah) dengan jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.”
Tidak ada keraguan bahwa “Berpegang” di sini bukan pada aqidah
mereka semata akan tetapi lebih kepada dakwah mereka, jihad, shalat dan
fiqh mereka juga.
Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW., bersabda :
“Barang siapa melihat pelanggaran yang dilakukan amir
(pemimpin)nya dia harus bersabar, dia harus membenci pelanggaran yang
dilakukannya, akan tetapi dia tidak boleh menarik ketaatan kepadanya.” (Hadits ini hanya berlaku untuk khalifah)
Muslim meriwayatkan bahwa Auf bin Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW., bersabda :
“Jika kalian melihat sesuatu yang kalian tidak suka dari amir kalian, bencilah hal itu, tapi jangan menarik ketaatan darinya.”
Muslim juga meriwayatkan bahwa Rasul SAW., bersabda ;
“Barang siapa membenci sesuatu dari amirnya, hendaknya
dia bersabar. Sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kaum muslimin
yang keluar dari kekuasaannya sejengkal saja dan dia mati, maka matinya
adalah mati jahiliah.” (Hadits ini hanya berlaku untuk khalifah)
Tujuan utama dipaparkan hadits-hadits ini adalah agar seseorang
berjama’ah dan bekerja secara berjama’ah dan hal ini menuntut ketaatan
kita kepada imam dari jama’ah shalat, amir jihad atau amir safar
(bepergiaan). Oleh karena itu berkumpulnya orang untuk bergabung dalam
urusan-urusan baik itu fardhu, sunnah, atau mubah, harus ada seorang
amir di antara mereka.
Diriwayatkan Rasul SAW., bersabda :
“Tidak diijinkan bagi tiga orang di suatu tempat dalam sebuah urusan kecuali menunjuk amir di antara mereka.”
“Tidak diijinkan bagi tiga orang yang bepergian kecuali memilih amir atas mereka.”
“seorang bepergian sendiri adalah setan, dua adalah dua setan dan
tiga adalah sekelompok orang dan mereka harus memilih seseorang sebagai
amir.”
Baik seruan itu untuk jihad, dakwah atau kewajiban lain, berada bersama sebuah jama’ah adalah masnun (perbuatan) yang dicontohkan Rasulullah SAW., sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
Telah masyhur dalam ushul fiqh bahwa ‘kewajiban tidak dapat terlaksana tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.”
‘Pengantar sebuah kewajiban, adalah kewajiban.”
Allah SWT., berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali Imran, ayat 104 :
“Hendaklah ada di antara kamu umat…”
Ayat di atas tidak akan terpenuhi kecuali dengan bergabung bersama
seperti dalam shalat jum’at dan jihad. Bangkit melawan toghut atau
musuh hukumnya fardhu (wajib) dewasa ini. Oleh karena itu bekerja
bersama-sama fardhu hukumnya, karena tidak ada yang menggentarkan musuh
kecuali kita berjuang bersama-sama dalam jama’ah. Membantu kaum
muslimin fardhu, jika tidak bisa dilakukan tanpa bergabung di bawah
pimpinan amir, maka hal ini juga menjadi fardhu. Membangkitkan kaum
muslimin dan menegakkan khilafah tidak bisa sempurna tanpa bergabung di
bawah seorang imam. Oleh karena itu, untuk menegakkan khilafah,
memiliki seoreang imam juga menjadi fardhu.
Lebih jauh lagi, banyak kemungkaran tidak bisa diberantas kecuali
dengan usaha bersama. Inilah keadaan kita, sama seperti
kewajiban-kewajiban yang lain, seperti shalat jama’ah. shalat Jum’at,
memandikan jenazah, mengajarkan masyarakat agama dan kewajiban Islam,
yang harus dilakukan secara berjama’ah di bawah pimpinan amir.
Sebagai ringkasan, jalan khilafah dan Imamatul Ammah adalah fardhu
atas kaum muslimin dan mereka tidak diijinkan berada dalam satu malam
tanpa seorang Imam yang memimpin mereka dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah,
kecuali mereka akan berdosa. Oleh karena itu menegakkan jama’ah untuk
menyempurnakan kewajiban bersama (fardhu kifayah) telah diketahui
sebagai amalan/perbuatan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seperti
yang dilaksanakan dalam shalat jama’ah dan menegakkan jama’ah. Dengan
kata lain (kalau tidak berjama’ah) kita akan meruntuhkan
pilar-pilar/sendi-sendi jama’ah.
Sebagai kesimpulan, bagi mereka yang mengatakan “tidak boleh bekerja
dalam jama’ah” mereka berada dalam kelompok atau partai yang menyimpang
yang berlawanan dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka tanpa sadar
telah jatuh dalam kesalahan yang fatal (kesalahan besar) yang tidak
lain merupakan bid’ah dari kelompok bid’ah, yang melarang/mencegah umat
dari apa yang Allah SWT., perintahkan, dan mereka bahkan melarang
kewajiban bersama (fardhu kifayah) yang lain seperti jihad.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW., mengingatkan
kita agar melawan Ahlul Fitan dan memberitahu kita bahwa akan ada
kelompok yang menyeru kepada sunnah yang berbeda dari sunnah Rasul. Ini
adalah masa kebaikan sebelum masa keburukan. Meskipun ada kabut
sekarang ini, kita tidak seharusnya melarang kewajiban untuk pergi
berjama’ah dalam berjihad dan berdakwah hanya karena ada kabut di masa
fitnah. Saya meyakini bahwa untuk berlomba-lomba dalam berjama’ah
(fardhu kifayah) dibolehkan dan berlomba-lomba dalam kebajikan itu
sangat dianjurkan, meski pun begitu, kebencian dan permusuhan tidak
diijinkan bagi mereka yang berlomba-lomba dalam kebajikan.
Semoga Allah SWT., memandu kita semua menuju jalan yang benar dan
membantu kita dalam bekerja sama dalam kebajikan dan meneguhkan kita di
jalan yang lurus dan menjadikan kita sebagai umat yang menyeru kepada
kebajikan dan mencegah kemungkaran.
Syekh Umar Bakri Muhamad
9 Oktober 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar