Kamis, 15 September 2011

DAKWAH BERJAMAAH (TETAP) WAJIB

Menjadi perhatian saya bahwa beberapa ikhwan, murid-murid syari’ah dan para ulama mengatakan bahwa bekerja secara berkelompok atau mengikatkan diri dalam jama’ah dakwah tidak diijinkan kecuali di bawah seorang Imam kaum muslimin dan bahwa kumpulan individu yang menegakkan dakwah dan jihad tidak sesuai dengan hukum dan oleh karena itu seluruh kumpulan individu baik di dunia  Timur maupun Barat menyeru ke pintu-pintu neraka karena keberadaan mereka tidak dibolehkan.
Peryataan tersebut berasal dari mereka yang menyebut diri ulama-ulama yang mengingkari ajaran Rasulullah SAW., dan sunnahnya. Setelah saya menemukan beberapa kaum muslimin tertipu dengan fatwa palsu tersebut, yang tidak berdasar pada pengetahuan atau pemahaman syar’i, saya akan (dengan apa yang Allah SWT., berikan pada saya) membuat bayan untuk kebenaran (Al-Haq) dengan menyingkirkan ‘mendung’ yang membingungkan sebagian kaum muslimin. Semoga Allah SWT., menerimanya.
Kumpulan individu, diketahui sebagai sebuah jama’ah, adalah apa yang orang bergabung. Pada kenyataannya orang yang bergabung minimal dua orang atau lebih dan ini diriwayatkan dalam hadits shahih, dikumpulkan dalam Darimi, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad, dari riwayat Abu Said Al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW., bersabda :
“Siapa dapat menyumbang pada laki-laki ini dan shalat bersamanya sebagai kedermawanan, untuk shalat bersamanya dan untuk mendapatkan pahala shalat berjamaah.”
Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan berdasarkan hadits dari Abdullah Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah bersabda :
“Shalat berjamaah itu lebih baik dibanding shalat sendiri 27 derajat.”
Dua hadits tersebut membuktikan bahwa dua atau lebih (dari dua orang) adalah sebuah jama’ah dan ada lebih banyak pahala untuk shalat bersama dalam jama’ah dan sunnah secara eksplisit, baik ucapan maupun perbuatan, membuktikan bahwa tidak ada batasan untuk jumlah terbanyak. Sebuah jamaah bisa berjumlah 1.000 orang atau 1.000.000 orang dan akan dipandang sebagai satu jama’ah di bawah pimpinan seorang imam shalat.
Tirmidzi meriwayatkan berdasar hadits Abdullah Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah SAW., bersabda :
“Tangan Allah SWT., menaungi (melindungi) tangan jama’ah.”
Jama’ah yang dimaksud di sini adalah Jama’atul Muslimin. Bagi mereka yang menggabungkan diri di bawah seorang imam pada suatu waktu, sebagaimana Rasulullah SAW., berkata kepada Hudzaifah Al Yaman dalam hadits “fitan”, yang dikumpulkan oleh Bukhari dan Muslim :
“Berpeganglah (bergabunglah) dengan jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.”
Tidak ada keraguan bahwa “Berpegang” di sini bukan pada aqidah mereka semata akan tetapi lebih kepada dakwah mereka, jihad, shalat dan fiqh mereka juga.
Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW., bersabda :
“Barang siapa melihat pelanggaran yang dilakukan amir (pemimpin)nya dia harus bersabar, dia harus membenci pelanggaran yang dilakukannya, akan tetapi dia tidak boleh menarik ketaatan kepadanya.” (Hadits ini hanya berlaku untuk khalifah)
Muslim meriwayatkan bahwa Auf bin Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW., bersabda :
“Jika kalian melihat sesuatu yang kalian tidak suka dari amir kalian, bencilah hal itu, tapi jangan menarik ketaatan darinya.”
Muslim juga meriwayatkan bahwa Rasul SAW., bersabda ;
“Barang siapa membenci sesuatu dari amirnya, hendaknya dia bersabar. Sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang keluar dari kekuasaannya sejengkal saja dan dia mati, maka matinya adalah mati jahiliah.” (Hadits ini hanya berlaku untuk khalifah)
Tujuan utama dipaparkan hadits-hadits ini adalah agar seseorang berjama’ah dan bekerja secara berjama’ah dan hal ini menuntut ketaatan kita kepada imam dari jama’ah shalat, amir jihad atau amir safar (bepergiaan). Oleh karena itu berkumpulnya orang untuk bergabung dalam urusan-urusan baik itu fardhu, sunnah, atau mubah, harus ada seorang amir di antara mereka.
Diriwayatkan Rasul SAW., bersabda :
“Tidak diijinkan bagi tiga orang di suatu tempat dalam sebuah urusan kecuali menunjuk amir di antara mereka.”
“Tidak diijinkan bagi tiga orang yang bepergian kecuali memilih amir atas mereka.”
“seorang bepergian sendiri adalah setan, dua adalah dua setan dan tiga adalah sekelompok orang dan mereka harus memilih seseorang sebagai amir.”
Baik seruan itu untuk jihad, dakwah atau kewajiban lain, berada bersama sebuah jama’ah adalah masnun (perbuatan) yang dicontohkan Rasulullah SAW., sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
Telah masyhur dalam ushul fiqh bahwa ‘kewajiban tidak dapat terlaksana tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.”
‘Pengantar sebuah kewajiban, adalah kewajiban.”
Allah SWT., berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali Imran, ayat 104 :
“Hendaklah ada di antara kamu umat…”
Ayat di atas tidak akan terpenuhi kecuali dengan bergabung bersama seperti dalam shalat jum’at dan jihad. Bangkit  melawan toghut atau musuh hukumnya fardhu (wajib) dewasa ini. Oleh karena itu bekerja bersama-sama fardhu hukumnya, karena tidak ada yang menggentarkan musuh kecuali kita berjuang bersama-sama dalam jama’ah. Membantu kaum muslimin fardhu, jika tidak bisa dilakukan tanpa bergabung di bawah pimpinan amir, maka hal ini juga menjadi fardhu. Membangkitkan kaum muslimin dan menegakkan khilafah tidak bisa sempurna tanpa bergabung di bawah seorang imam. Oleh karena itu, untuk menegakkan khilafah, memiliki seoreang imam juga menjadi fardhu.
Lebih jauh lagi, banyak kemungkaran tidak bisa diberantas kecuali dengan usaha bersama. Inilah keadaan kita, sama seperti kewajiban-kewajiban yang lain, seperti shalat jama’ah. shalat Jum’at, memandikan jenazah, mengajarkan masyarakat agama dan kewajiban Islam, yang harus dilakukan secara berjama’ah di bawah pimpinan amir.
Sebagai ringkasan, jalan khilafah dan Imamatul Ammah adalah fardhu atas kaum muslimin dan mereka tidak diijinkan berada dalam satu malam tanpa seorang Imam yang memimpin mereka dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, kecuali mereka akan berdosa. Oleh karena itu menegakkan jama’ah untuk menyempurnakan kewajiban bersama (fardhu kifayah) telah diketahui sebagai amalan/perbuatan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seperti yang dilaksanakan dalam shalat jama’ah dan menegakkan jama’ah. Dengan kata lain (kalau tidak berjama’ah) kita akan meruntuhkan pilar-pilar/sendi-sendi jama’ah.
Sebagai kesimpulan, bagi mereka yang mengatakan “tidak boleh bekerja dalam jama’ah” mereka berada dalam kelompok atau partai yang menyimpang yang berlawanan dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka tanpa sadar telah jatuh dalam kesalahan yang fatal (kesalahan besar) yang tidak lain merupakan bid’ah dari kelompok bid’ah, yang melarang/mencegah umat dari apa yang Allah SWT., perintahkan, dan mereka bahkan melarang kewajiban bersama (fardhu kifayah) yang lain seperti jihad.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW., mengingatkan kita agar melawan Ahlul Fitan dan memberitahu kita bahwa akan ada kelompok yang menyeru kepada sunnah yang berbeda dari sunnah Rasul. Ini adalah masa kebaikan sebelum masa keburukan. Meskipun ada kabut sekarang ini, kita tidak seharusnya melarang kewajiban untuk pergi berjama’ah dalam berjihad dan berdakwah hanya karena ada kabut di masa fitnah. Saya meyakini bahwa untuk berlomba-lomba dalam berjama’ah (fardhu kifayah) dibolehkan dan berlomba-lomba dalam kebajikan itu sangat dianjurkan, meski pun begitu,  kebencian dan permusuhan tidak diijinkan bagi mereka yang berlomba-lomba dalam kebajikan.
Semoga Allah SWT., memandu kita semua menuju jalan yang benar dan membantu kita dalam bekerja sama dalam kebajikan dan meneguhkan kita di jalan yang lurus dan menjadikan kita sebagai umat yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran.
Syekh Umar Bakri Muhamad
9 Oktober 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar